JAKARTA, Indonesia, 19 November 2019 /PRNewswire/ -- Investasi dengan aspek tanggung jawab sosial (socially responsible investing) tengah meningkat di seluruh dunia. Hal ini didorong kekhawatiran publik tentang berbagai tantangan dunia seperti perubahan iklim, polusi, deforestasi, dan kesenjangan sosial. Kini, lebih dari 50% transaksi private equity di Asia Tenggara mendanai model bisnis yang berkontribusi terhadap kemajuan lingkungan hidup dan masyarakat. Tren ini terungkap di dalam riset terbaru dari Bain & Company, SUSTAINABILITY WINS AS INVESTORS IN SOUTHEAST ASIA SHIFT.
Berdasarkan definisi yang digunakan negara-negara berkembang, investasi dengan aspek keberlanjutan (sustainability investing) di Asia Tenggara berkembang dengan pesat. Dari seluruh transaksi private equity yang terjadi di Asia Tenggara pada Semester I-2019, 56% di antaranya melibatkan sejumlah perusahaan yang memenuhi kriteria Bain & Company tentang aspek keberlanjutan untuk negara-negara berkembang. Porsi tersebut naik 30% dari tahun 2017.
Kalangan investor menyadari besarnya potensi kerugian jika mereka mengabaikan aspek lingkungan hidup dan sosial dalam kegiatan investasinya. Selain itu, para limited partner juga menuntut pengelola investasi global untuk memakai kriteria lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola (environmental, social and governance/ESG) dalam proses investasi. Hasilnya, banyak pengelola dana investasi yang membangun perusahaan portofolionya dengan Prinsip-Prinsip Investasi yang Bertanggung Jawab (Principles for Responsible Investment/PRI), didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—dan mengembangkan keahlian internal supaya mereka dapat berkembang.
"Para konsumen dan pemegang saham perusahaan semakin menuntut perusahaan untuk memaparkan isu-isu etis tentang investasi yang dijalankan," ujar Suvir Varma, Senior Advisor, Global Private Equity, Bain & Company, serta salah satu penulis laporan riset tersebut. "Kekhawatiran ini melatarbelakangi munculnya gelombang pertama dari investasi dengan aspek keberlanjutan sekitar satu dekade lalu. Pengelola dana investasi juga ingin memitigasi risiko-risiko keuangan dan reputasi perusahaan."
Dahulu, sebagian besar investor kakap di Asia Tenggara menyasar penanaman modal di industri primer, seperti migas, pertambangan, dan komoditas pertanian. Kini, mereka banyak mendanai model-model bisnis inovatif yang memberikan solusi terhadap berbagai tantangan di lingkungan hidup dan masyarakat. Aksi-aksi investasi ini termasuk pengembangan proyek energi terbarukan, platform yang menyediakan akses pendanaan dan pasar kepada usaha-usaha mikro, serta jaringan rumah sakit komersial (for-profit) yang melayani penduduk prasejahtera dengan akses layanan kesehatan yang lebih baik.
Investasi dengan aspek keberlanjutan bisa menggerakkan pertumbuhan, dibandingkan hanya sekadar mengubah kepemilikan finansial, dan setidaknya memenuhi salah satu dari tiga kriteria berikut:
"Peluang investasi dengan aspek keberlanjutan di negara-negara berkembang dinilai lebih besar dibandingkan negara-negara maju," jelas Alex Boulton, Principal, Global Private Equity, Bain & Company, serta salah satu penulis laporan riset yang berkantor di Singapura. "Nilai investasi dengan aspek keberlanjutan tercatat sebesar US$ 3,2 miliar pada Semester I-2019, naik 60% dari Semester I-2018, segera melampaui nilai transaksi total pada 2018."
Asia Tenggara menyumbangkan nilai transaksi private equity di atas US$ 10 miliar pada 2018. Pencapaian ini berlangsung selama dua tahun berturut-turut. Nilainya melonjak drastis di Vietnam dan Indonesia, seiring dengan perkembangan yang terus dialami kedua negara. Investasi dengan aspek keberlanjutan di Asia Tenggara kian mengemuka. Prospeknya juga terlihat cerah dan bisa mewujudkan perubahan sosial di seluruh kawasan.